Monday, October 8, 2012
Wakaf Tunai dan Pengentasan Kemiskinan ?
3:47 AM
1 comment
Kemiskinan, hingga hari ini, tetap menjadi problematika mendasar yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Berdasarkan data Tim Indonesia Bangkit, angka kemiskinan mengalami peningkatan dari 16 persen pada Februari 2005 menjadi 18,7 persen per Juli 2005 hingga 22 persen per Maret 2006. Fakta ini menunjukkan bahwa tampaknya bangsa belum sepenuhnya 'merdeka' dari kemiskinan. Pemerintah sendiri, sebagaimana diungkap Boediono, menganggarkan Rp 46 triliun pada 2007 untuk menciptakan lapangan kerja. Tentu saja kita berharap bahwa rencana tersebut dapat direalisasikan di lapangan, sehingga dampaknya dapat benar-benar dirasakan masyarakat. Solusi syariah
Pemerintah saat ini masih terlihat gamang dengan upaya mengentaskan kemiskinan. Berbagai langkah yang ditempuh bersifat tambal sulam. Di satu sisi, pemerintah belum bisa melepaskan diri dari utang luar negeri berbasis bunga, sehingga utang menjadi salah satu sumber utama pembiayaan APBN. Namun di sisi lain, utang luar negeri yang belum terserap jumlahnya juga tidak sedikit. Berdasarkan data Bappenas, hingga Juli 2006, utang luar negeri yang belum terserap mencapai 8-9 miliar dolar AS.
Apapun alasannya, ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Kondisi itu terjadi sebagai akibat paradigma utang konvensional yang tidak berpihak pada sektor riil. Untuk itu, paradigma tersebut harus diubah secara total jika kita ingin melepaskan diri dari jebakan perangkap utang dan tekanan kreditor. Mengembangkan ekonomi syariah menjadi pilihan yang terbaik.
Sesungguhnya, telah banyak solusi yang ditawarkan para praktisi dan akademisi ekonomi syariah. Solusi tersebut antara lain melalui penerbitan sukuk. Meskipun sukuk sendiri pada hakikatnya mirip dengan utang, namun ia memiliki bentuk yang berbeda dengan utang konvensional. Sukuk haruslah berbasis aset dan proyek di sektor riil, sedangkan utang konvensional tidak mewajibkannya. Bahkan sebaliknya, undang-undang melarang pemerintah menerbitkan SUN yang berbasis aset. Sehingga, sukuk dapat memberikan lebih banyak manfaat dalam menciptakan lapangan kerja karena dana yang terserap akan benar-benar digunakan pada sektor riil dan tidak bisa digunakan untuk spekulasi di pasar uang.
Solusi lain harus mulai kita kampanyekan secara lebih intensif adalah menggali sumber dana pembangunan melalui wakaf tunai. Inilah sebenarnya 'raksasa' yang jika bangkit, perekonomian nasional bakal segera menggeliat dan memerdekakan dirinya dari belenggu kapitalisme global.
Wakaf tunai
Sesungguhnya jika ditelaah, wakaf tunai pada hakikatnya bukan merupakan instrumen baru. Praktik wakaf tunai telah dikenal lama dalam sejarah Islam. Sebagaimana dikutip KH Didin Hafidhuddin, Imam Az Zuhri (wafat tahun 124 H) memberikan fatwa yang membolehkan wakaf diberikan dalam bentuk uang, yang saat itu berupa dinar dan dirham, untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pembangunan umat. Kemudian, istilah wakaf tunai tersebut kembali dipopulerkan oleh MA Mannan, seorang pakar ekonomi syariah asal Bangladesh, melalui pendirian Social Investment Bank (SIB), bank yang berfungsi mengelola dana wakaf.
Sebenarnya, wakaf tunai itu pada dasarnya bertujuan menghimpun dana abadi yang bersumber dari umat, yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan dakwah dan masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya mengenal wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan. Sedangkan wakaf dalam bentuk uang belum tersosialisasi dengan baik.
Padahal, wakaf tunai ini memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bersadaqah jariyah dan mendapat pahala yang tidak terputus tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah atau saudagar kaya. Orang bisa berwakaf hanya dengan membeli selembar sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan oleh institusi pengelola wakaf (nadzir). Hal tersebut berbeda dengan zakat, di mana untuk menjadi muzakki, seseorang harus memenuhi sejumlah persyaratan yang di antaranya adalah hartanya harus melebihi nishab.
Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu potensi yang luar biasa.
Fakta pun telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Sebagai contoh adalah Universitas Al Azhar Mesir, PP Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya.
Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf.
Melihat potensinya yang luar biasa, pemerintah hendaknya mulai memikirkan secara serius upaya untuk menggali potensi wakaf tunai ini. Kita beruntung bahwa Indonesia telah memiliki UU No 41/2004 tentang Wakaf. Namun demikian, hal tersebut belumlah cukup, apalagi Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai amanat UU tersebut belum juga terbentuk.
Ada tiga langkah yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, hendaknya kampanye dan sosialisasi wakaf tunai lebih ditingkatkan. Kedua, segera membentuk dan memperkuat struktur BWI sebagai lembaga nadzir negara. Ketiga, mendorong bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya untuk mengintensifkan gerakan wakaf tunai sebagai gerakan pengentasan kemiskinan nasional.
1 comments:
trma kasih
Post a Comment