This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Pages

Saturday, October 27, 2012

PENDIDIKAN DAN SISTEM

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu kenyataan yang yang tampak jelas dalam dunia pendidikan dimana pendidikan tersebut diharapkan bisa diterima oleh semua pihak. Pendidikan sebagai sistem terdiri dari sejumlah komponen antara lain, sistem baru (raw input), tamatan (out put), instrumental input (guru kurikulum). Ilmu pendidikan juga akan memperhatikan perubahan tata nilai yang terjdi dalam masyarakat. Disamping itu ilmu pendidikan harus memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan,dlam ekonomi dan politik kita. Sebabnya ialah pendidikan mempunyai kewajiban untuk mengantarkan para peserta didik memasuki masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan yang mendasar dalam kehidupan ekonomi dan kehidupan politik. Ilmu pendidikan juga diterima sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan tergolong baru, sekitar abad (+1895) melalui gerakan “Autonomi pedagogik” yang berlangsung di Amerika dan Eropa yang mula-mula sekali memakai istilah ilmu pendidikan ialah J.C Greiling. Adapun istilah yang ditinjau dari sisi ilmiah, para ahli pendidikan memiliki bebrapa pandangan: Pendidikan identik dengan pengajaran Pendidikan dan pengajaran tidak sama, tapi memiliki hubungan erat. Pendidikan dan pengajaran berbeda dari segi kelambagaan. Mengajar bukan hanya menyampaikan paham pelajaran pada siswa, tetapi merupakan suatu proses upaya dalam membimbing dan menfasilitasi siswa supaya dapat belajar secara efektif dan efisien. Keberhasilan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Oleh karna itu, guru harus memiliki kemampuan dalam memilih, mengembangkan dan menerapakn berbagai metode mengjar dalam mencapai tujuan pembelajaran. B. RUMUSAN MASALAH pengertian pendidikan pengertian sistem C. TUJUAN Agar kami lebih memahami tentang pengertian pendidikan dan sistem lebih memahami pengertian pendidikan sebagai sistem memenuhi tugas yang telah dibebankan kepada kami BAB II PEMBAHASAN PENGERTIAN PENDIDIKAN Tidak mudah mendifinisikan apa sebenarnya pendidikan itu, menurut Achmad Tafsir, di sebabkan oleh beberapa hal: banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendididkan, yakni; kegiatan pendidikan oleh diri sendir, kegiatan pendidikan oleh lingkungan, dan kegiatan pendidikan oleh orang lain terhadap orang tertentu. luanya aspek yang dibina oleh pendidikan; ada aspek jasmaniah, akal dan aspek hati. luasnya wilayah penyelenggaraan pendidikan; yaitu didalam Rumah tangga, dimasyarakat dan di sekolah. Mungkin sebenarnya kita kira-kira alasan diatas, mengapa sampai sekarang tidak ada satupun difinisi pendidikan yang dapat diterima secara bulat oleh semua pihak. Selanjutnya akan kami tinjau pendidikan itu dari segi Etimologis dan Terminologisnya. Tinjauan Etimologis Istilah asing yang biasa dipakai untuk memaknai kata pendidikan adalah; Pedagogie (bahasa Yunani) dan Education (bahasa Latin). Berikut ini penjelasan kedua istilah tersebut: Pedagogie Rangkaian dua kata dari bahasa Yunani: “ pias (anak) dan ago (saya membimbing). Dengan demikian berarti saya membimbing anak”. Education Menurut Khursyid Ahmad istilah Education, berasal dari Bahasa Latin; e, ex (out) artninya keluar, dan ducere duc (mengatur, memimpin, menyerahkan). Sehingga education memiliki arti: mengumpulkan dan menyampaikan informasi (pelajaran), dan menyalurkan/ menarik bakat keluar.” . Dalam praktek pendidikan, kegiatan-kegiatan seperti mengatur, memimpin dan mengarahkan bakat anak merupakan aktifitas utama. Tinjauan Terminologis Dari sudut pandang Terminologis, menurut MJ. Langeveld; “ pendidikan adalah mempengaruhi anak dalam usah membimbingnya supaya menjadi dewaswa. Uasah membimbing adalah usaha yang didasari dan dilaksanakan dfengan sengaja antara orang dewwsa dengan anak yang be lum dewasa. Dalam rangka memahami pendidikan sebagai suatu sistem, sebelumnya akan diuraikan tentang beberapa difinisi tentang pendidikan, tidak ada sebuah batasanpun yang dianggap cukup memdai sehingga menjadi jelas arti pendidikan secara lengkap . pendidikan sebenarnya mengandung banyak aspek sesuai dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh penyelanggara pendidikan. Perbedaan-perbedaan definisi tentang pendidikan tersebut bisa terjadi karena orientasi, konsep dasar yang digunakan juga berbeda. Pendidikan ialah suatu usaha sadar dan teratur serta sistemais, yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab, untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan. dengan kata lain dapatlah disebutkan bahwa: pendidikan adalah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak, dalam pertumbuhan jasmani maupun rohani untuk mencapai tingkat dewasa. Beberapa contoh batasan difinisi pedidikan yang berbeda berdasarkan fungsinya akan dikemukakan, sebagaiberikut : Pendidikan sebagai prosess transformasi Budaya. Pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisa budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi. Pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistimatis dan sistemik yang terarah kepada terbentuknya kepribadian perserta didik. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warga Negara. Dalam hal ini pendidikan dapat diartikan sebagai satu kegiatan yang direncanakan untuk membekali anak didik agar menjadi warga negara yang baik. Baik dalam arti sesuai dengan tujuan pendidikan nasional suatu Negara. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja. Pendidikan dalam artian ini adalah sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga mereka memiliki bekal dasar untuk bekerja. Definisi Pendidikan menurut GBHN 1998. GBHN memberikan batasan – batasan tentang Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa dan berdasarkan Pancasila serta Undang – Undang Dasar 1945 dimana batasan tersebut mengarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekitarnya, dan dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa. Dalam hal ini pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek individu dan sosial, aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotorik, dan aspek hubungan pribadi individu dengan lingkungan sosial maupun alam sekitarnya. PENGERTIAN SISTEM Dari uraian tersebut diatas dapat dilihat bahwa ternyata setiap penyelengaraan pendidikan mempunyai tujuan. Tujuan pendidikan adalah komponen penting dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu semua komponen yang terdapat dan mendukung dalam sistem pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan. Dalam hal ini nampak bahwa pendidikan itu bersifat normatif, yaitu mengandung norma – norma yang sifatnya “memaksa” untuk mengarahkan anak didik pada tujuan pendidikan tersebut. Walaupun demikian biasanya norma – norma dalam pendidikan dapat diterima oleh peserta didik yang mengikutinya. Pendidikan sebagai sistem, dimulai dengan menjelaskan pengertian arti kata “sistem”. Sistem dalam Bahasa Inggris adalah “system”, dapat diartikan sebagai “a set of things or parts forming a whole”, atau dapat diartikan juga sebagai “group of things or parts working together as a whole”. Berdasarkan dua pemahaman seperti ini, pengertian sistem dijelaskan sebagai berikut : Sistem adalah suatu kebulatan keseluruhan yang terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan dari bagian – bagian yang membentuk suatu keseluruhan. Jadi penekanannya adalah pada wujud sistem yang dibentuk dari bagian – bagian. Sistem merupakan himpunan komponen – komponen atau bagian – bagian yang saling berkaitan dan bagian – bagian tersebut masing – masing berfungsi dalam keseluruhan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam penjelasan ini sistem menekankan pada fungsi bagian – bagian atau komponen – komponen dalam keseluruhan. Sistem merupakan himpunan komponen atau subsistem yang saling berkaitan dan berfungsi sesuai dengan rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam pengertian ini sistem menekankan pada unsur rencana dan saling keterkaitan antar komponen. Berdasarkan uraian tersebut, sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan integral dari sejumlah komponen, dimana komponen – komponen tersebut satu dengan yang lainnya saling berpengaruh dengan fungsinya masing – masing dan secara bersama – sama terarah pada suatu tujuan dari sistem. Mengacu pada pengertian sistem tersebut di atas, Pendidikan Sebagai Sistem terdiri dari sejumlah komponen, di mana masing – masing komponen tersebut mempunyai fungsi dan terjadi saling keterhubungan dan secara bersama – sama terarah pada suatu tujuan sistem pendidikan. Sistem dapat diidentifikasi secara sederhana sebagai “seperangkat objek dengan hubungan-hubungan antar objek dan hubungan antar atributnya”. Dengan kata lain, system adalah suatu kesatuan utuh yang terjalin dari: sejumlah bagian hubungan bagian-bagian, dan atribut dari bagian-bagian itu maupun dari hubungan itu. Dengan kata lain sistem dapat dipandang sebagai “ suatu bentuk dalam struktur atau operasi, konsep atau fungsi, yang terjalin dari bagian yang terikat dan terpadu.” Sejauh ini apabila sistem dibahas sepenuhnya pengertian sederhana dari sistem juga sangat diperlukan. Pengertian yang sederhana dapat dikemukakan sebagai berikut : System is defined in the dictionary as an assemblage of objects united by some form of regular interaction o rinterdependence, an organic or organized whole, as the solar system, or a new telegraph system. Dalam kutipan ini sistem dapat diartikan sebagai suatu himpunan dari obyek-obyek yang di satukan oleh beberapa bentuk interaksi yang teratur atau saling bergantungan. Suatu kesatuan atau penyatuan menjadi keseluruhan sebagai sistem yang tersendiiri. Pengertian seperti tersebut diatas menunjukkan adanya perbedaaan dalam bermacam-macam sistem alam semesta ialah sistem matahari. Siste telegram adalah sistem yang didisain oleh manusia. Dengan seperti ini suatu sistem itu mengandung 3 (tiga) bentuk aspek ialah : Tujuan Sistem itu mempunyai tujuan, sistem dibangun dari bagian-bagian ataau komponen dan sejumlah komponen-komponen itu adalah isi sistem. Isi Isi sistem disusun untuk mencapai suatu tujuan sisterm yang khusus. Proses Operasi dan fungsi komponen itu dihubungkan dalam anstruksi untuk mencapai tujuan sistem, itulah proses sistem. Urutan tujuan, isi dan proses itu penting, karena itulah diprioritaskan. Sistem dapat diidentifikasikan oleh tujuannya. Tujuannya menjelaskan pada kita apa yang harus dikerjakan, tujuuan mennentukan pula proses apa yang harus ditempatkan. Isi bagian yang tercakup didalam sistem, diseleksi kemampuannya untuk mencapai proses yang di harqapkan dalam rentetetan untuk mencapai tujuan sistem. Tujuan menentukan proses, yang harus menghasilkan susunan untuk mencapai tujuan. Proses wajar akan menyarankan bermacam-macam komponen, sehingga dapat menghasilkan atau menciptakan isi sistem. Untuk bahan perbandingan dapat dikemukakan suatu pengertian sistem yang lain ialah : “ system; the sun total of part working independently and working together to achieve requiered results or outcomes based on needs”. Yang dapat diartikan demikian, sistem ialah sejumlah keseluruhan bagian-bagian yang bekerja saling bergantung dan saling bekerja sama untuk mencapai hasil atau tujuan yang di harapkan berdasarkan kebutuhan. Dalam Sistem Pendidikan sangat memerlukan adanya feedback (umpan balik), sehingga manajemen sekolah dapat mengembangkan dan memperbaiki proses pendidikan yang telah dilakukan. Dalam hal ini Output dan Outcome akan menjadi feedback utama bagi sekolah dalam peningkatan program – program pembelajaran, kualitas guru & staf, kurikulum, sistem administrasi, sistem evaluasi & pengukuran, pengelolaan keuangan. BAB III PENUTUP 1. KESIMPULAN Sebagai kesimpulan dapat kita pastikan bahwa pendidikan itu merupakan sebuah komponen atau lembaga yang mempunyai tujuan agar terciptanya situasi atau potensi-potensi dasar apa saja yang dimiliki anak-anak dapat dikembangkan sesuai dengan ketentuan kebutuhan mereka pada suatu zaman dan dimana mereka harus survival. Dalam pendidikan tersebut memahami bahwa tujuan atau kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan proses pembelajaran. Persoalan tersebut adalah bagaimna melaksanakannya di dalam proses belajar-mengjar atau proses pembelajaran agar tujuan atau kompetensi yang diharapkan tercapai dan juga memahami bagaimana pendidikan itu mempunyai sistem yang baik untuk mencapai tujuan. 2. SARAN-SARAN Kami sebagai penyusun makalah ini menyatakan bahwa makalah kami ini sangat kurang dari kesempurnaan sehingga sebagai penyusun kami mengharapkan kepada seluruh pembaca agar senantiasa memberikan kritik dan saran anda sekalian yang tentunya bersifat membangun, untuk kami jadikan bahan telaah untuk tugas-tugas selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Roestiyah N.K. masalah pengajaran sebagai suatu system, Rineka Cipta, Jakarta, 1986. Nana Sudjana, Eddy susanta. Pendekatan system bagi administrator pendidikan,Sinar Baru Bandung.1989. Moh. Amin. Pengantar ilmu pendidikan islam, PT.Garoeda Buana Indah, Pasuruan. M. Said, Ilmu pendidikan Bandung: Alumni, 1985 Khursyid Ahmad, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam Surabaya Pustaka Progresif, 1992. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Ahmad Tafsir, Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992 Ahmad Tafsir, Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), halm 26. M. Said, Ilmu pendidikan (Bandung: Alumni, 1985), hal. 5. Khursyid Ahmad, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam (Surabaya Pustaka Progresif, 1992). Hal. 13 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1991). Hal. 69 Moh. Amin. Pengantar ilmu pendidikan islam, PT.Garoeda Buana Indah, Pasuruan, Hal 1 Nana Sudjana, Eddy susanta. Pendekatan system bagi administrator pendidikan,Sinar Baru Bandung.1989, Hal 23 Banathy, Bela. H. Instructional Systems, California, Fearon publishers Inc, 1978, hal. 1 Roestiyah N.K. masalah pengajaran sebagai suatu system, Rineka Cipta, Jakarta, 1986, hal. 5 Roger A. Kaufman, educational system Planning, New. Jersey, prentice Hall Inc, 1972, hal. 1

Monday, October 8, 2012

Wakaf Tunai dan Pengentasan Kemiskinan ?

Kemiskinan, hingga hari ini, tetap menjadi problematika mendasar yang harus dihadapi bangsa ‎Indonesia. Berdasarkan data Tim Indonesia Bangkit, angka kemiskinan mengalami peningkatan ‎dari 16 persen pada Februari 2005 menjadi 18,7 persen per Juli 2005 hingga 22 persen per ‎Maret 2006. Fakta ini menunjukkan bahwa tampaknya bangsa belum sepenuhnya 'merdeka' dari ‎kemiskinan. Pemerintah sendiri, sebagaimana diungkap Boediono, menganggarkan Rp 46 triliun ‎pada 2007 untuk menciptakan lapangan kerja. Tentu saja kita berharap bahwa rencana tersebut ‎dapat direalisasikan di lapangan, sehingga dampaknya dapat benar-benar dirasakan masyarakat. ‎ Solusi syariah Pemerintah saat ini masih terlihat gamang dengan upaya mengentaskan kemiskinan. Berbagai ‎langkah yang ditempuh bersifat tambal sulam. Di satu sisi, pemerintah belum bisa melepaskan ‎diri dari utang luar negeri berbasis bunga, sehingga utang menjadi salah satu sumber utama ‎pembiayaan APBN. Namun di sisi lain, utang luar negeri yang belum terserap jumlahnya juga ‎tidak sedikit. Berdasarkan data Bappenas, hingga Juli 2006, utang luar negeri yang belum ‎terserap mencapai 8-9 miliar dolar AS. ‎ Apapun alasannya, ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Kondisi itu terjadi ‎sebagai akibat paradigma utang konvensional yang tidak berpihak pada sektor riil. Untuk itu, ‎paradigma tersebut harus diubah secara total jika kita ingin melepaskan diri dari jebakan ‎perangkap utang dan tekanan kreditor. Mengembangkan ekonomi syariah menjadi pilihan yang ‎terbaik.‎ Sesungguhnya, telah banyak solusi yang ditawarkan para praktisi dan akademisi ekonomi ‎syariah. Solusi tersebut antara lain melalui penerbitan sukuk. Meskipun sukuk sendiri pada ‎hakikatnya mirip dengan utang, namun ia memiliki bentuk yang berbeda dengan utang ‎konvensional. Sukuk haruslah berbasis aset dan proyek di sektor riil, sedangkan utang ‎konvensional tidak mewajibkannya. Bahkan sebaliknya, undang-undang melarang pemerintah ‎menerbitkan SUN yang berbasis aset. Sehingga, sukuk dapat memberikan lebih banyak manfaat ‎dalam menciptakan lapangan kerja karena dana yang terserap akan benar-benar digunakan ‎pada sektor riil dan tidak bisa digunakan untuk spekulasi di pasar uang.‎ Solusi lain harus mulai kita kampanyekan secara lebih intensif adalah menggali sumber dana ‎pembangunan melalui wakaf tunai. Inilah sebenarnya 'raksasa' yang jika bangkit, perekonomian ‎nasional bakal segera menggeliat dan memerdekakan dirinya dari belenggu kapitalisme global.‎ Wakaf tunai Sesungguhnya jika ditelaah, wakaf tunai pada hakikatnya bukan merupakan instrumen baru. ‎Praktik wakaf tunai telah dikenal lama dalam sejarah Islam. Sebagaimana dikutip KH Didin ‎Hafidhuddin, Imam Az Zuhri (wafat tahun 124 H) memberikan fatwa yang membolehkan wakaf ‎diberikan dalam bentuk uang, yang saat itu berupa dinar dan dirham, untuk pembangunan ‎sarana dakwah, sosial dan pembangunan umat. Kemudian, istilah wakaf tunai tersebut kembali ‎dipopulerkan oleh MA Mannan, seorang pakar ekonomi syariah asal Bangladesh, melalui ‎pendirian Social Investment Bank (SIB), bank yang berfungsi mengelola dana wakaf. ‎ Sebenarnya, wakaf tunai itu pada dasarnya bertujuan menghimpun dana abadi yang bersumber ‎dari umat, yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan dakwah dan ‎masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya mengenal wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan. ‎Sedangkan wakaf dalam bentuk uang belum tersosialisasi dengan baik. ‎ Padahal, wakaf tunai ini memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bersadaqah jariyah ‎dan mendapat pahala yang tidak terputus tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah atau ‎saudagar kaya. Orang bisa berwakaf hanya dengan membeli selembar sertifikat wakaf tunai yang ‎diterbitkan oleh institusi pengelola wakaf (nadzir). Hal tersebut berbeda dengan zakat, di mana ‎untuk menjadi muzakki, seseorang harus memenuhi sejumlah persyaratan yang di antaranya ‎adalah hartanya harus melebihi nishab.‎ Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke ‎dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, sehingga keuntungannya dapat ‎dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Bisa dibayangkan, jika ‎‎20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, ‎maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang ‎berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu ‎potensi yang luar biasa.‎ Fakta pun telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan ‎memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Sebagai contoh ‎adalah Universitas Al Azhar Mesir, PP Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi ‎pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya.‎ Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta ‎poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 ‎poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan ‎profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di ‎Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih ‎dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf. ‎ Melihat potensinya yang luar biasa, pemerintah hendaknya mulai memikirkan secara serius ‎upaya untuk menggali potensi wakaf tunai ini. Kita beruntung bahwa Indonesia telah memiliki UU ‎No 41/2004 tentang Wakaf. Namun demikian, hal tersebut belumlah cukup, apalagi Badan Wakaf ‎Indonesia (BWI) sebagai amanat UU tersebut belum juga terbentuk. ‎ Ada tiga langkah yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, hendaknya kampanye dan ‎sosialisasi wakaf tunai lebih ditingkatkan. Kedua, segera membentuk dan memperkuat struktur ‎BWI sebagai lembaga nadzir negara. Ketiga, mendorong bank syariah dan lembaga keuangan ‎syariah lainnya untuk mengintensifkan gerakan wakaf tunai sebagai gerakan pengentasan ‎kemiskinan nasional.‎

Menyambut Organisasi Zakat Dunia

Salah satu peristiwa penting yang terjadi akhir tahun 2006 lalu adalah terciptanya kesepakatan di antara 14 negara Muslim untuk menginisiasi proses pembentukan organisasi zakat internasional. Dalam pertemuan yang berlangsung di Kuala ! Lumpur, Malaysia pada akhir November 2006 lalu, 14 negara meliputi Arab Saudi, Yordania, Turki, Suriah, Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan, Yaman, Bahrain, Mesir, Iran, Brunei, Malaysia dan Indonesiasepakat untuk mengoptimalkan institusi zakat sebagai in strumen untuk mengatasi berbagai problem ekonomi, terutama masalah kemiskinan, yang membelit banyak negara anggota OKI. Saat ini, jumlah umat Islam yang hidup dalam keadaan miskin mencapai 39 persen atau sekitar 580 juta jiwa di seluruh dunia. Perlu disadari bahwa upaya untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara Muslim di dunia haruslah berawal dari tekad dan komitmen dunia Islam itu sendiri. Tidak bisa kita menggantungkan harapan kepada belas kasih dan bantuan kekuatan-kekuatan lain, teru tama negara-negara Barat. Data 2005 yang dirilis Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yang beranggotakan negara-negara maju di dunia, terlihat komitmen dana bantuan pembangunan untuk dunia ketiga masih san! gat kecil. Bahkan nilainya rata-rata kurang dari 1 persen dari total G NP mereka. Karena itulah, penulis memandang inisiatif PM Malaysia, Abdullah Badawi, dengan sokongan IDB dan Islamic Chambers of Commerce and Industry (ICCI) untuk meluncurkan gagasan penyegeraan pembentukan organisasi zakat internasional merupak an sesuatu yang patut kita dukung. Alhamdulillah, Indonesia melalui Menag Maftuh Basyuni pun telah menyatakan dukungan dan komitmennya. Tinggal bagaimana sekarang keempat belas negara yang menyepakati hal tersebut melakukan langkah-langkah yang l ebih konkret sehingga organisasi yang dimaksud bisa didirikan pada 2007 ini. Potensi zakat dunia Kalau kita cermati, potensi zakat dunia Islam ternyata cukup besar. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa besarnya zakat yang dapat dikum pulkan adalah sebesar 2,5 persen dari total GDP. Dengan asumsi tersebut, Arab Saudi, sebagai contoh, memiliki potensi zakat hingga 5,4 miliar dolar AS atau Rp 48,6 triliun (1 dolar AS sama dengan Rp 9 ribu). Sedangkan Turki, memil! iki potensi yang lebih besar lagi, yaitu sebesar 5,7 miliar dolar AS atau senilai Rp 51,3 triliun rupiah. Sedang Indonesia memiliki potensi hingga 4,9 miliar dolar AS (Rp 44,1 triliun). Namun demikian, fakta menunjukkan kondisi yang sangat iron is. Hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat hingga 2,5 persen dari total GDP mereka. Malaysia saja pada tahun lalu hanya mampu mengumpulkan zakat senilai 600 juta ringgit (Rp 1,5 triliun), atau sekitar 0,16 persen d ari total GDP. Begitu pun dengan negara kita yang hanya mampu mengumpulkan Rp 800 miliar atau hanya 0,045 persen dari total GDP. Secara umum, negara-negara Teluk pun hanya mampu mengumpulkan zakat rata-rata 1 persen dari GDP. Agenda strategis Ada dua agenda yang mendesak dilakukan untuk memperkuat eksistensi dan kedudukan organisasi zakat internasional. Pertama, memperkuat infrastruktur di masing-masing negara Islam. Infrastruktur yang dimaksud juga menc! akup aspek regulasi dan peraturan, pendidikan dan SDM, serta sarana da n prasarana lain yang dibutuhkan, termasuk sosialisasi dan kampanye zakat yang intensif. Dalam aspek regulasi dan peraturan misalnya, kedudukan lembaga zakat di suatu negara harus diperkuat. Kalau kita melihat Malaysia, maka negara-negara bagian yang ada di Malaysia memiliki pusat zakat yang kuat secara hukum dan politik, serta mendapat dukungan penuh pemerintah. Dukungan itu antara lain dalam bentuk pengalokasian anggaran negara, penerapan kebijakan 'zakat sebagai pengurang pajak' secara nyata di lapangan, dan pemberian kemudahan akses bagi muzakki untuk membayar zakat. Kemudian, dukungan lainnya berupa penyusunan database yang valid mengenai jumlah muzakki dan mustahik. Selanjutnya, kalau kita melihat neg ara-negara Arab, maka pada umumnya status kelembagaan yang mengelola zakat adalah setingkat kementerian. Sebagai contoh adalah Kuwait dan Qatar. Ini menunjukkan besarnya perhatian terhadap institusi zakat yang ada. Kita berharap I! ndonesia dapat mengambil pelajaran dari Malaysia dan dunia Arab dalam memperkuat institusi zakatnya. Status Baznas hendaknya ditingkatkan menjadi kementerian. Bahkan beberapa praktisi zakat mengusulkan kalau memang dianggap memberatkan anggara n negara, maka kementerian zakat ini tidak perlu dibiayai APBN. Yang terpenting diberikan kekuatan untuk 'memaksa' muzakki membayar zakat. Mereka berargumen bahwa selama ini pun, seluruh lembaga zakat yang ada telah mampu berkiprah secara mandiri . Fakta pun membuktikan, meskipun dana zakat yang terhimpun masih kecil, tetapi manfaatnya dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat. Agenda kedua adalah menciptakan mekanisme penghimpunan dan pendayagunaan zakat serta koordinasi antar negara Islam. Salah satu tujuan dibentuknya organisasi zakat internasional ini adalah teralirkannya dana zakat dari negara-negara surplus zakat ke negara-negara minus zakat. Untuk itu perlu dibuat aturan yang jelas mengenai kriter! ia dan mekanisme aliran dana tersebut. Jika aliran dana ters ebut ditentukan berdasarkan program yang diajukan, maka indikator dan kriteria program yang dapat diajukan pun harus jelas. Jika mekanisme ini disepakati, maka Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan membuat berbagai proyek percontohan pemb erdayaan kaum dhuafa. Yang juga tidak kalah penting adalah menentukan share masing-masing negara dalam proses penghimpunan dana zakat. Penulis berkeyakinan, organisasi zakat ini jika terbentuk, akan memiliki peran yang sangat strategis dan vital dalam mengembangkan perekonomian umat di masa mendatang.

RIBA DAN META EKONOMI ISLAM

Firman Allah : “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39) Menurut pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada inetelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas. Pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39). Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang. Mengapa Allah mengatakan pinjaman kredit dengan sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi ?. Di sinilah keterbatasan akal (pemikiran) sebagian besar manusia. Mereka hanya memandang secara dangkal, kasat mata dan material (zahir) belaka. Dari sinilah muncul konsep meta-ekonomi Islam, yaitu, sebuah pandangan ekonomi yang berada di luar akal material manusia yang dangkal. Dampak Bunga. Harus dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam konteks ekonomi makro, bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi ekonomi makro jauh lebih besar. Kesalahan manusia kapitalis, termasuk ahli agama Islam yang tak berlatar belakang ekonomi, adalah menempatkan dan membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata. Membicarakan riba dalam konteks ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro. Padahal dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek riba yang telah sistemik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme.Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional. Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian. Pertama, Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi punca utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi. Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF berikut menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi. Ketiga, Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka pengangguran. Keempat, Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam, sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus. Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya. Kenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam mumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan . Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka lanjutan ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah” Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Berdasarkan kenyataan itu, maka sekali lagi, maha benarlah firman Allah yang mengatakan bahwa riba tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat. Inilah meta ekonomi Islam yang terdapat dalam ayat 39 Surah Ar-Rum. Dalam pendangan seorang banker atau debitur, sistem bunga yang mereka terapkan yang dilandasai saling ridha dan terkesan tidak ada saling menzalimi di antara mereka, dianggap sebagai sebuah sistem yang wajar dan tidak menjadi masalah. Bahkan bersifat positif-konstruktif bagi masyarakat. Inilah pandangan ekonomi mikro yang sering menjerumuskan banyak orang yang akalnya terbatas.Begitulah, akal manusia sering kali tidak bisa menjangkau apa yang dibalik realitas ekonomi. Padahal sistem riba itu justru merusak dan sama sekali tidak membawa pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya. Inilah yang dijelaskan Al-Quran dalam surah Ar-Rum ayat 39 di atas. Inilah konsep metaekonomi Islam dalam larangan riba. Namun, bagi para ekonom Islam, hal tersebut bukan lagi meta, tapi fakta, karena mereka telah melihat fakta riil kerusakan ekonomi masyarakar, negara dan dunia akibat riba (bunga). Mereka telah melihat secara nyata bahwa riba tidak akan menumbuhkan perekonomian masyarakat. Metaekonomi Islam dalam larangan riba hanya relevan bagi para penganut dan pengamal ekonomi ribawi yang mayoritas di negeri ini. Tugas pakar ekonomi syari’ah untuk menjelaskan meta ekonomi Islam itu kepada penganut dan pengamal kapitalisme ribawi yang masih mayoritas di negeri ini. Oleh : Agustianto Sekretaris Umum DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Pengajar pada Program Pascasarjana PSTTI UI

The Death Of Economics Dan Chance Ekonomi Syariah?

Dengan kegagalan kapitalisme membangun kesejahteran umat manusia di muka bumi, maka isu kematian ilmu ekonomi semakin meluas di kalangan para cendikiawan dunia. Banyak pakar yang secara khusus menulis buku tentang The Death of Economics tersebut, antara lain Paul Omerod, Umar Ibrahim Vadillo, Critovan Buarque, dsb. Adalah Paul Omerod menulis buku berjudul The Death of Economics (1994) (Matinya Ilmu Ekonomi). Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu. Mirip dengan buku Omerod, muncul pula Umar Vadillo dari Scotlandia yang menulis buku, ”The Ends of Economics” yang mengkritik secara tajam ketidakadilan sistem moneter kapitalisme. Kapitalisme justru telah melakukan ”perampokan” terhadap kekayaan negara-negara berkembang melalui sistem moneter fiat money yang sesungguhnya adalah riba. Dari berbagai analisa para ekonom dapat disimpulkan, bahwa teori ekonomi telah mati karena beberapa alasan. Pertama, teori ekonomi Barat (kapitalisme) telah menimbulkan ketidakadilan ekonomi yang sangat dalam, khususnya karena sistem moneter yang hanya menguntungkan Barat melalui hegemoni mata uang kertas dan sistem ribawi. Kedua, Teori ekonomi kapitalisme tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Ketiga, paradigmanya tidak mengacu kepada kepentingan masyarakat secara menyeluruh, sehingga ada dikotomi antara individu, masyarakat dan negara. Keempat, Teori ekonominya tidak mampu menyelaraskan hubungana antara negara-negara di dunia, terutama antara negara-negara maju dan negara berkembang. Kelima, terlalaikannya pelestarian sumber daya alam. Alasan-alasan inilah yang oleh Mahbub al-Haq (1970) dianggap sebagai dosa-dosa para perencana pembangunan kapitalis. Kesimpulan ini begitu jelas apabila pembahasan teori ekonomi dihubungkan dengan pembangunan di negara-negara berkembang. Sementara itu perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kesenjangan antara negara-negara berpendapatan tinggi dan negara-negara berpendapatan rendah, tetap menjadi indikasi bahwa globalisasi belum menunjukkan kinerja yang menguntungkan bagi negara miskin. (The World Bank, 2002). Sejalan dengan Omerod dan Vadillo, belakangan ini muncul lagi ilmuwan ekonomi terkemuka bernama E.Stigliz, pemegang hadiah Nobel ekonomi pada tahun 2001. Stigliz adalah Chairman Tim Penasehat Ekonomi President Bill Clinton, Chief Ekonomi Bank Dunia dan Guru Besar Universitas Columbia. Dalam bukunya “Globalization and Descontents, ia mengupas dampak globalisasi dan peranan IMF (agen utama kapitalisme) dalam mengatasi krisis ekonomi global maupun lokal. Ia menyatakan, globalisasi tidak banyak membantu negara miskin. Akibat globalisasi ternyata pendapatan masyarakat juga tidak meningkat di berbagai belahan dunia. Penerapan pasar terbuka, pasar bebas, privatisasi sebagaimana formula IMF selama ini menimbulkan ketidakstabilan ekonomi negara sedang berkembang, bukan sebaliknya seperti yang selama ini didengungkan barat bahwa globalisasi itu mendatangkan manfaat.. Stigliz mengungkapkan bahwa IMF gagal dalam misinya menciptakan stabilitas ekonomi yang stabil. Karena kegagalan kapitalisme itulah, maka sejak awal, Joseph Schumpeter meragukan kapitalisme. Dalam konteks ini ia mempertanyakan, “Can Capitalism Survive”?. No, I do not think it can. (Dapatkah kapitalisme bertahan ?. Tidak, saya tidak berfikir bahwa kapitalisme dapat bertahan). Selanjutnya ia mengatakan, ” Capitalism would fade away with a resign shrug of the shoulders”,Kapitalisme akan pudar/mati dengan terhentinya tanggung jawabnya untuk kesejahteraan (Heilbroner,1992). Sejalan dengan pandangan para ekonom di atas, pakar ekonomi Fritjop Chapra dalam bukunya, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture (1999) dan Ervin Laszio dalam buku 3rd Millenium, The Challenge and The Vision (1999), mengungkapkan bahwa ekonomi konvensional (kapitalisme) yang berlandaskan sistem ribawi, memiliki kelemahan dan kekeliruan yang besar dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan moral. Kelemahan itulah menyebabkan ekonomi (konvensional) tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat yang miskin dengan negara-negara dan masyarakat yang kaya, demikian pula antara sesama anggota masyarakat di dalam suatu negeri. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dan visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban, dalam arti membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang bisa dipertanggungjawabkan. Titik balik peradaban versi Fritjop Chapra sangat sesuai dengan pemikiran Kuryid Ahmad ketika memberi pengantar buku Umar Chapra, ”The Future of Economics : An Islamic Perspective (2000), yang mengharuskan perubahan paradigma ekonomi. Hal yang sama juga ditulis oleh Amitai Etzioni dalam buku, ”The Moral Dimension : Toward a New Economics”(1988), yakni kebutuhan akan paradigm shift (pergeseran paradigma) dalam ekonomi. Sejalan dengan pandangan para ilmuwan di atas, Critovan Buarque, ekonom dari universitas Brazil dalam buknya, “The End of Economics” Ethics and the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma ekonomi kapitalis yang mengabaikan nilai-nilai etika dan sosial. Paradigma ekonomi kapitalis tersebut telah menimbulkan efek negatif bagi pembangunan ekonomi dunia, yang disebut Fukuyama sebagai ”Kekacauan Dahsyat” dalam bukunya yang paling monumental, “The End of Order”.(1997), yakni berkaitan dengan runtuhnya solidaritas sosial dan keluarga. Meskipun di Barat, ada upaya untuk mewujudkan keadilan sosial, namun upaya itu gagal, karena paradigmanya tetap didasarkan pada filsafat materialisme dan sistem ekonomi ribawi. Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek Filsuf Sosial Amerika, John Rawis dalam buku “The Theory of Justice” (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya “Anarchy, State and Utopia” (1974), telah menjadi contoh yang mempresentasikan kegagalan teori keadilan versi Barat. Ketika sistem ekonomi kapitalisme mengalami kerapuhan dan ”kematian”, maka sekali lagi ditegaskan, bahwa peluang (chance) ekonomi syariah makin terbuka luas untuk berkembang dan menjadi solusi sistem perekonomian dunia. Gejala tersebut semakin menunjukkan realitanya ketika 75 negara di dunia telah mempraktekkan sistem ekonomi dan keuangan Islam, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia. Demikian pula dalam bidang akademis, beberapa universitas terkemuka di dunia sedang giat mengembangkan kajian akademis tentang ekonomi syariah. Harvard University merupakan universitas yang aktif mengembangkan forum dan kajian-kajian ekonomi syariah tersebut. Di Inggris setidaknya enam universitas mengembangakan kajian-kajian ekonomi syari’ah. Demikian pula di Australia oleh Mettwally dan beberapa negara Eropa seperti yang dilakukan Volker Ninhaus. Para ilmuwan ekonomi Islam, bukan saja kalangan muslim, tetapi juga non muslim. Di Indoinesia, malah sebaliknya, masih banyak pakar ekonomi dari kaum muslimin yang masih memiliki paradigma sekuler sehingga belum tertarik kepada ekonomi Islam karena belum mempelajari dan belum mengerti tentang ekonomi Islam tersebut. Seandainya mereka secara jujur dan pikiran yang jernih mempelajarinya, niscaya mereka akan tertarik dan berdecak kagum melihat keunggulan ekonomi ilahiyah ini. Indonesia Syariah Expo merupakan momentum paling strategis untuk menarik perhatian para pakar dan seluruh masyarakat untuk melihat produk dan keunggulan ekonomi syariah tersebut yang pada gilirannya menerapkan ekonomi syariah dalam seluruh aktivitas ekonomi dan keuangannya baik dalam konteks individu, keluarga, perusahaan maupun negara..

Kerapuhan Kapitalisme

(Perspektif Ekonomi Islam) Sejak satu abad belakangan, ekonomi kapitalisme mengalami kemajuan yang sangat pesat. Namun, akhir-akhir ini banyak gugatan yang dihadapkan kepada ekonomi kapitalisme tersebut, tidak saja dari ekonom muslim tetapi juga dari ekonom Barat sendiri. Ekonom muslim yang paling gigih mengkritik ekonomi kapitalisme antara lain, Prof. M.Umer Chapra, Prof. Kursyid Ahmad, Prof. Masudul Alam Chuodhury, Prof. M.Nejatullah Ash-Shiddiqy, Prof. M.A. Mannan dan ratusan ekonom muslim lainnya. Sedangkan dari ekonom Barat sendiri, antara lain, Robert Heibronner, Josept Stiglitz, Paul Ormerod, Lester Thurow, Kevin Philip, Bahkan sampai kepada Stigliz, pemenang hadiah Nobel dari harvard University, dan banyak lagi. Sebenarnya, kritik dan sorotan terjadap sistem kapitalisme muncul sejak Karl Marx dan para pengikutnya, pemikir sosialis, seperti EF. Schumacher dan Dr. Scott. Sistem ini semakin menjadi sorotan setelah beberapa skandal perusahaan terjadi belakangan ini yang puncaknya menghasilkan Sarbanes Oxley Corpoprate Act 2002. Menghadapi itu, pemerintah Amerika Serikat, kelimpungan dan berupaya memperbaikinya dari aspek teknis sistem kapitalis itu saja, bukan prinsip-prinsip dasar dan filosofinya, sehingga tidak mengherankan jika krisis demi krisis ekonomi akan terus berulang. Prof.Dr.Kursyid Ahmad (2001) secara tajam mengkritik ekonomi kapitalisme dengan mengatakan bahwa peradigma ekonomi konvensional yang muncul saat ini bercirikan pada paradigma yang berupaya melepaskan ilmu ekonomi dari semua kaitan transendental dan kepedulian etika, agama dan nilai-nilai moral. Pendekatan yang sangat sekuler dan berorientasi duniawi, positivistik dan pragmatis. Lebih dari itu, ilmu ekonomi, berkembang sebagai sebuah disiplin yang semata-mata mengitari pusat kepentingan diri, usaha pribadi, mekanisme pasar dan motif mencari keuntungan semata. Semua ini pada gilirannya berakibnat pada kemelut sejarah ekonomi kapitalis, saat ia tercerabut dari matrik budaya dan nilai-nilai dalam menganalisis dan menformulasi pemecahan masalah ekonomi. Dampak dari semua itu adalah terjadinya pertumbuhan dan perkembangan ilmu ekonomi dengan pilar penyangga teori yang rapuh. Seperti dinyatakan oleh Robert Heibronner ( 1976), bahwa para ekonom mulai menyadari bahwa mereka telah membangun sebuah bangunan yang canggih di atas landasan sempit yang rapuh. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Chapra. Menurutnya, peristiwa depresi hebat telah memperlihatkan secara jelas kelemahan logika Hukum Say dan konsep laissez faire. Ini dibuktikan oleh ekonomi pasar yang hampir tidak mampu secara konstan menggapai tingkat full employment dan kemakmuran. Ironisnya, di balik kemajuan ilmu ekonomi yang begitu pesat, penuh inovasi, dilengkapi dengan metodologi yang semakin tajam, model-model matematika dan ekonometri yang semakin luas untuk melakukan evaluasi dan prediksi, ternyata ilmu ekonomi tetap memiliki keterbatasan untuk mengambarkan, menganalisa maupun memproyeksikan kecenderungan tingkah laku ekonomi dalam perspektif waktu jangka pendek. Dengan kata lain, ilmu ekonomi, bekerja dengan asumsi-asumsi ceteris paribus. Dalam konteks ini, Keyneys pernah mengatakan, kita terkungkung dan kehabisan energi dalam perangkap teori dan implementasi ilmu ekonomi kapitalis yang ternyata tetap saja mandul untuk melakukan terobosan mendasar guna mencapai kesejahteraan dan kualitas hidup umat manusia di muka bumi ini. Ketidak-adilan Ekonomi Melihat fenomena faktual tersebut, secara nyata kita dapat memotret wajah buram ilmu ekonomi kapitalis dalam mencapai tujuan-tujuannya. Maka krisis demi krisis ekonomi yang terus berulang, seperti di tahun 1930, 1970, 1980, 1999 dan 2001 – telah secara nyata membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis yang mendasarkan diri pada filsafat materialisme- sekularisme) telah gagal menjawab dan menyajikan solusi atas persoalan ekonomi dan kemanusiaan. Karena itu tidak aneh jika kita secara kasat mata menyaksikan lingkaran-lingkaran kezaliman yang mengiringi hilang timbulnya siklus krisis dalam sejarah panjang kehidupan perekonomian bangsa-bangsa di muka bumi ini. Karenanya, keadilan ekonomi macam apakah yang hendak kita wujudkan bila tata ekonomi dunia baru saat ini ternyata malahirkan tragedi kemiskinan dan kelaparan; kesenjangan negara kaya dan negara miskin serta perangkap utang luar negeri ( debt trap ) dan hegemoni ekonomi global. Contohnya bisa dilihat dari laporan World Food Summit : Five Years Later (Konferensi Tingkat Tinggi Pangan Setelah Lima Tahun Kemudian) di Roma, 10-13 Juni 2002 yang memaparkan bahwa sebanyak 815 juta manusia di negara berkembang masih menghadapi kelaparan, 300 juta di antaranya adalah anak-anak yang bergulat dengan kelaparan dan setiap saat selalu berhadapan dengan monster pencabut nyawa bernama rawan gizi ( Republika, 18/1/03). Transaksi Maya Yang paling mengerikan lagi dari sistem kapitalisme adalah maraknya “kredit derivatif”, sebagai instrumen keuangan yang dominan pada saat ini. Menurut data Morgan Stanley, nilai kredit derivatif pada tahun 1998 hanya Rp 500 Trilyun, namun pada Desember 2002 ditaksir sudah mencapai Rp 24.000 Trilyun, suatu kenaikan yang “gila” luar biasa, yakni sebesar 47.000 persen atau 4700 kali lipat. Transaksi derivatif ini umumnya tidak begitu difahami oleh umum (awam), bahkan investor sekalipun. Transaksi ini hanya transaksi “maya” (semu) yang dikaitkan dengan aktiva keuangan, sedangkan transaksi “future trading” seperti forward, merupakan spekulasi tentang kejadian di masa yang akan datang. Boleh dikatakan, perekonomian dunia saat ini digelembungkan oleh transaksi maya yang dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London ( 27 %), Tokyo, Hongkong Singapura (25 %) dan Chicago-New York ( 17 %). Transaksi riba yang sangat dominan itu , mencapai 99 persen dibanding transaksi riel yang dianjurkan Islam. Menurut data, diperkirakan transaksi maya di pasar uang dunia mencapai US $ 750 trilyun setahun, sedangkan kegiatan perdagangan dan jasa (sektor riel) hanya US $ 7,5 trilyun saja. Dengan demikian pertumbuhan uang demikian cepat, tapi ia bagaikan gelembung (bubble) saja. Seringkali gelembung ini pecah yang mengakibatkan krisis di mana-mana, termasuk krisis Asia yang hingga akhir ini masih terasa. Islam menolak keras segala macam transaksi maya tersebut. Sebaliknya, Islam mendorong globalisasi dalam arti mengembangkan sektor riel atau perdagangan nasional, regional maupun internasional. Saat ini bank dan lembaga keuangan sering kali menciptakan berbagai model transaksi derivatif yang dikaitkan dengan fluktuasi ekonomi global, misalnya kenaikan bunga atau resiko obligasi tidak dibayar yang dapat dijual kepada investor. Untuk resiko kredit tidak dibayar disebut dengan credit swap. Transaksi ini dalam ekonomi syari’ah diharamkan. Kini, dengan banyaknya kritik yang dialamatkan kepada praktek ini dan dampak negatifnya, banyak ekonom Barat yang tersadar dan mengecamnya dengan keras. Warren Buffet dan Rubin, mantan Secretary of Treasury AS berpendapat bahwa transaksi ini dapat meruntuhkan sistem keuangan global. Keadaan ini menggambarkan bagaimana sistem kapitalis itu sebenarnya sangat rentan dan rapuh. Lain lagi pengaruh keserakahan dan hawa nafsu manusia sebagaimana yang terjadi pada krisis 2001. Ketika itu muncul kasus Enron yang disebabkan oleh skandal akuntansi dan etika di kalangan manajemen dan profesional yang mengelola perusahaan Amerika, sehingga Williem Webster yang telah ditunjuk untuk menduduki jabatan Accounting Oversight Board mengundurkan diri. Hawa nafsu dan keserakahan yang sering melekat pada kapitalisme digantikan dengan nilai-nilai moral dan transendental dalam ekonomi Islam. Ajaran Islam sangat menekankan agar hawa nafsu manusia . harus tunduk pada kepentingan yang lebih luhur dan lebih kekal bukan kepentingan sesaat atau sepihak. Monetary Based Economy. Kapitalisme modern saat ini dibangun dengan monetary based economy bukan real based economy. Artinya ia banyak ( dominan) bermain di level atas dari ekonomi riel. Rente ekonomi diperoleh bukan melakukan kegiatan investasi produktif tetapi dalam investasi spekulatif. Bahaya potensial berikutnya yang akan kita hadapi seandainya masih terus mengamalkan sistem kapitalisme ini adalah runtuhnya sistem keuangan. Tanda-tanda ini sudah mulai nyata sebagaimana diketahui dari angka-angka tentang efek negatif monetery based economy yang berkembang saat ini. Menurut Morgan Stanley yang dikutip David Ignatius, (Washington Post, 15 November 2002), menunjukkan bahwa pada tahun 2001 dan 2002, jumlah obligasi yang tidak mampu dibayar (default) sebesar Rp 1. 650 Trilyun. Jumlah ini lebih besar dari jumlah obligasi yang default selama 20 tahun sebelumnya. Dari sudut panjaman atau kredit bank dapat diketahui bahwa kualitas aktiva produktif (kredit) di Amerika, semakin lama semakin menurun, khususnya sejak tahun 1995. Ini membuktikan pola kredit berbasis bunga bisa membahayakan kelangsungan perbankan dan pada akhirnya mengamcam pertumbuhan sektor riel sebagai pilar pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya. Dari berbagai informasi baik skala nasional dan juga sakala internasional menunjukkan betapa industri perbankan selalu menjadi momok dan bahkan menjadi penyebab krisis ekonomi. Industri perbankan di Amerika sudah lama sakit, jumlah bank menurun termasuk prestasi sahamnya di pasar bursa. Di beberapa negara lain seperti Jepang, China dan Jerman industri ini semakin mengkhawatirkan. Di Indonesia kita sudah rasakan krisis perbankan 1997 telah melahirkan krisis keuangan dan ekonomi yang berkepanjangan. Krisis perbankan ditutupi dengan pembentukan BPPN serta berbagai upaya merger, akuisisi dan lain sebagainya untuk menutupi kesalahan sektor ini. Paling tidak Rp. 800 triliun uang rakyat terpaksa disumbangkan ( disubsidi) untuk para konglomerat serta para pejabat (sebagai pengambil keputusan ) untuk menutupi krisis perbankan ini. Selain itu, dalam konteks krisis ekonomi Indonesia, dampak krisis yang terus mendera negara kita adalah masih berkutatnya sejumlah permasalahan mendasar dari perekonomian kita akibat akumulasi kezaliman ekonomi selama ini, yaitu berupa : kemiskinan struktural yang parah, angka pengangguran yang meledak, ketimpangan distribusi pendapatan, ketimpangan pembangunan antar daerah, konsentrasi kepemilikikan aset produktif di tangan konglomerat, beban utang luar negeri dan penjajahan ekonomi nasional oleh kekuatan asing. Tidak mengherankan, karena sesungguhnya apa yang dibanggakan oleh tim arsitek ekonomi Orde Baru dengan konsep tricle down effect-nya dan mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi –tingginya tak lebih dari sekedar pencapaian bubble economy ( ekonomi gelembung sabun) yang semu. Penutup Sistem kapitalis itu akan terus menerus mengulangi kesalahan-kesalahan lama dan kejadian itu akan terus berulang jika sifat dasar, filosofi dan prinsip-prinsipnya tidak diperbaiki. Sifat dasar kapitalisme memang dari awalnya sudah tidak ‘ seimbang’ dan tidak adil. Karena visi dan misinya hanya mengutamakan ‘ pemilik modal’. Pemilik modal sebagai motor penggerak, inisiator, leader dan otomotis juga sebagai penerima profitnya.. Pihak lain seperti tenaga kerja, profesional harus di bawah naungannya. Agar tidak terjadi lagi kesalahan-kesalahan yang menyengsarakan ummat manusia, maka tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke sistem ilahi, pencipta manusia itu sendiri, yakni sistem ekonomi Islam (SEI). Sistem ini menempatkan aspek transendental sebagai prioritas dalam bangunan sistemnya dan SEI tidak saja menonjolkan aspek moral, tetapi juga menyuguhkan prinsip-prinsip ekonomi yang adil, melarang bunga (riba), spekulasi (transaksi derivatif), karena dalam Islam, uang bukan sebagai komoditas. Islam sangat mendorong pertumbuhan sektor riel, dan tidak memisahkannya dengan sektor moneter. Sektor moneter wajib terkait dengan sektor riel. Dengan kata lain, uang yang beredar harus seimbang dengan kegiatan sektor riel. Sedangkan dalam ekonomi kapitalisme sektor moneter benar-benar terpisah sektor riel. Praktek bunga perbankan yang masih berkembang saat ini merupakan aplikasi sistem kapitalisme yang menjadikan uang sebagai komoditas. Akibatnya rakyat dirugikan ratusan trilyun dan semakin miskin. Semoga Allah menunjuki kita untuk mengamalkan ajarannya dan meninggalkan riba. (Penulis Sejen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Ekonomi Syariah Pascasarjana UI Jakarta)

Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah

Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah Baru-baru ini, UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-indangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, 2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW. Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan. Urgensi Kodifikasi Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi wewenang absolut hakim pengadilan agama, maka dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi syariah yang lengkap agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standart dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syari’ah. Dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf, kita telah memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita belum memilikinya. Kedudukan KHI secara konstitusional, masih sangat lemah, karena keberadaannya hanyalah sebagai inpres. Karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat yang dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai persoalan hukum . Untuk itulah kita perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam, sebagaimana yang dibuat pemerintahan Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah yang terdiri dari 1851 pasal. Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan Dalam sejarahnya, formulasi suatu hukum atau peraturan dibuat secara tertulis yang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis tersebut yang disebut corpus juris. Setelah jumlah peraturan itu menjadi demikian banyak, maka dibutuhkan sebuah kodifikasi hukum yang menghimpun berbagai macam peraturan perundang-undangan. Para ahli hukum dan hakim pun berupaya menguasai peraturan-peraturan itu dengan baik agar mereka bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan.. Berdasarkan dasar pemikiran itu, maka hukum ekonomi syariah yang berasal dari fikih muamalah, yang telah dipraktekkan dalam aktifitas di lembaga keuangan syariah, memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan penerapannya dalam kegiatan usaha di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Dalam pengambilan keputusan di Pengadilan dalam bidang ekonomi syariah dimungkinkan adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan adanya kepastian hukum sebagai dasar pengambilan keputusan di Pengadilan. Terlebih lagi dengan karakteristik bidang muamalah yang bersifat “elastis dan terbuka” sangat memungkinkan berfariasinya putusan-putusan tersebut nantinya yang sangat potensial dapat menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan demikian lahirnya Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah dalam sebuah Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Islam menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana dimaklumi bahwa formulasi materi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah tidak terdapat dalam Yurisprudensi di lembaga-lembaga peradilan Indonesia. Meskipun demikian, yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi syariah. Artinya, keputusan hukum masa lampau itu difikihkan, karena dinilai sesuai dengan syariah. Jadi pekerjaan para mujtahid ekonomi syariah Indonesia, bukan saja merumuskan hukum ekonomi baru yang berasal dari norma-norma fikih/syariah, tetapi bagaimana bisa memfikihkan hukum nasional yang telah ada. Hukum nasional yang bersumber dari KUH Perdata (BW), kemungkinan besar banyak yang sesuai syariah, maka materi dan keputusan hukumnya dalam bentuk yurusprudensi bisa ditaqrir atau diadopsi. KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civil Perancis ini dalam pembuatannya mengambil pemikiran para pakar hukum Islam dari Mesir yang bermazhab Maliki, sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip dalam KUH Perdata dengan ketentuan fikih Muamalah tersebut, seperti hibah, wadi’ah dan lain-lain. Selain itu, yurisprudensi putusan ekonomi syariah, mungkin juga bisa dicari dari penerapan hukum adat di dalam putusan pengadilan yang ada di negara kita yang sedikit banyak telah diinspirasikan oleh ketentuan hukum Islam. Yang paling bagus adalah merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani yang disebut Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah” KUH Perdata Islam ini dapat dikembangkan dan diperluas bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini. Selain itu, penyusunan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata Islam, harus menggunakan ilmu ushul fiqh dan qawa’id fiqh. Disiplin ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Dengan demikian maqashid syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat, Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia. Secara teoritis penerapan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia ini dapat terwujud melalui peran penting pemerintah ‘Political Will’ Penguasa, sebagaimana telah diterapkan pada Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini. Untuk menyusun Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah, peran Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat penting, mengingat IAEI adalah kumpulan para pakar ekonomi syariah Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka.

lahirnya anak kapitalis

Lahirkan Anak Kapitalis Denpasar (Bali Post) -Pengamat pendidikan Gede Suardana menilai institusi pendidikan anak saat ini mulai disarati dengan muatan ideologi kapitalisme. Ditegaskannya, bertautnya dunia pendidikan dengan citra kapitalisme akan menciptakan dunia pendidikan yang makin terperangkap dalam dimensi komersial. Tentunya, komersialisasi pendidikan itu berdampak buruk terhadap perkembangan masa depan anak-anak karena akan melahirkan anak yang kapitalis, penuh citra dan materi serta hilangnya prinsip sosial, moral dan spiritual. ''Saat ini institusi pendidikan tidak jarang yang menyusupkan berbagai produk yang sarat kepentingan kapitalisme dalam proses pembelajaran,'' kata Gede Suardana, Minggu (12/8) kemarin. Suardana yang kini menempuh Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana itu mengatakan, pendidikan yang kapitalis akan menyebabkan makin jauh dari dimensi-dimensi sosial, moral dan spiritual yang lebih luas. Anak-anak akan terperangkap dalam dunia kapitalisme dan tumbuh bersama ideologi kapitalisme yang ada di berbagai kehidupan. Nantinya, setiap segi kehidupan mereka akan selalu ditautkan dengan aspek materi dan keuntungan semata. ''Anak-anak akan terlepas dari akar budayanya. Nilai sosial dan moral telah berganti menjadi nilai individu. Anak-anak terjebak dalam berbagai aktivitas yang sarat kapitalisme, seperti permainan di berbagai pusat perbelanjaan modern. Mereka lepas dari kehidupan banjar,'' katanya mengingatkan. Suardana berharap dunia pendidikan anak di Bali di masa depan tidak boleh lagi mengandalkan pada prinsip komersial. Pasalnya, pendidikan anak tidak sekadar keuntungan, materi dan citra, namun mesti mengandung nilai cinta, aspirasi, kasih sayang, moralitas, spiritual dan membelajarkan gaya hidup sederhana. Guna menghindari anak-anak terjebak dalam institusi pendidikan yang sarat mengandung ideologi kapitalisme, dibutuhkan proses pembelajaran untuk menumbuhkan kesadaran di kalangan masyarakat tentang perlunya perubahan terhadap pandangan dunia pendidikan kapitalisme. ''Bagaimana masyarakat mengubah pandangan hidup, gaya hidup dan keyakinan budaya kapitalisme yang telah meresap ke dunia pendidikan yang hanya menganut dimensi keuntungan ke prinsip pendidikan dengan dimensi sosial yang lebih kaya,'' katanya. Guna mengubah pandangan masyarakat dari prinsip kapitalisme, Suardana meminta pemerintah turun tangan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya ideologi kapitalisme dalan dunia pendidikan. Dengan begitu, masyarakat tidak tergiur untuk mengonsumsi pendidikan yang sarat dengan pencitraan dan janji menjadikan anak cerdas secara instan. ''Institusi pendidikan sejak dini harus dilarang memasukkan ideologi kapitalisme dalam dunia pendidikan,'' tegasnya. (kmb13)
Dekonstruksi Kapitalisme Dalam perjalanan historisnya, umat manusia di bawah dominasi Barat telah mengalami dua ideologi ekonomi utama dalam kurun dua ratus tahun terakhir, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Meskipun terdapat achievement gemilang dan prestasi-prestasi yang mencolok dalam bidang-bidang tertentu, namun ideologi-ideologi utama dunia ini telah gagal memecahkan problem-problem utama ekonomi umat manusia Sosialisme adalah ideologi ”pertama” yang terperosok ke dalam keranjang sampah sejarah. Runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989, dan jatuhnya Soviet tahun beberapa tahun kemudian, seolah semakin membuktikan tidak ada yang menandingi tumbuhnya pemikiran neo liberal “Washington Consensus” semenjak awal 90an. Merupakan kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa, bila kita menganggap dengan kejadian itu, kapitalisme telah tervindikasi, karena krisis ekonomi masa kini masih tetap terasa mendalam dan mengkhawatirkan serta telah menimbulkan penderitaan-penderitaan yang memilukan bagi umat manusia. Dengan demikian sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama yang mendeklarasikan kemenangan kapitalisme liberal sebagai representasi akhir zaman “ The end of history “ (Magazine National Interest ,1989). Di bawah dominasi kapitalisme, kerusakan ekonomi terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, ditambah tingginya tingkat suku bunga riil serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi perekonomian negara-negara berkembang, proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali. Meskipun proses penanggulangan dan penyembuhan dari penyakit-penyakit itu kini sedang berlangsung, namun berbagai ketidakpastian masih saja membayang-bayangi. Tingkat suku bunga semakin tinggi dan diduga akan terus membumbung, memperkuat kekhawatiran akan gagalnya proses penyembuhan di atas. Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidakadilan sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidakmampuan beberapa negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa "Tidak satupun diantara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut" (News Week, "Saving the World Economy"). Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi. Sebenarnya, sejak awal tahun 1940-an, para ahli ekonomi Barat, telah menyadari indikasi kegagalan tersebut. Adalah Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism, Socialism and Democracy menyebutkan bahwa teori ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pandangan yang sama dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an, seperti Daniel Bell dan Irving Kristol dalam buku The Crisis in Economic Theory. Demikian pula Gunnar Myrdal dalam buku Institusional Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt, dalam buku Economic Theory and the Underdeveloped Countries serta Mahbubul Haq dalam buku The Poverty Curtain : Choices for the Third World. Pandangan miring kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an di mana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada generasi yang sama menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Dalam buku ini ia menyatakan bahwa dunia saat ini dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah pada akhir abad 19 dunia mengalami krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan diunia negara-negara berkembang akan tetapi juga melanda negara-negara maju. Selanjutnya Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu. Karena itu, kini telah mencul gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem ekonomi ”baru” yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi baru tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi ekonomi tersebut dilakukan dengan analisis objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang jernih dan pendekatan yang segar dan komprehensif. Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia dan Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics”. Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter). Penutup Berdasarkan kegagalan kapitalisme tersebut mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu menggantinya dengan sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma destrutktif,.filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, maka ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis. Sekarang tergantung kepada para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah yang benar-benar adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun negara kaya terhadap negara miskin.