Pages

Wednesday, December 19, 2012

filsafat idealisme dalam pendidikan

1.1. Latar Belakang Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan hidup iku menentukan arah dan tujuan proses pendidikan. Oleh karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya. Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya. Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan dilakukan secara terus menerus dilakukan dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh keinsafan. Ajaran filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran (sistem) suatu filsafat. Tetapi karena cara dan dasar yang dijadikan criteria dalam menetapkan klasifikasi tersebut berbeda-beda, maka klasifikasi tersebut berbeda-beda pula. Seorang ahli bernama Brubacher membedakan aliran-aliran filsafat pendidikan sebagai: pragmatis-naturalis; rekonstruksionisme; romantis naturalis; eksistensialisme; idealisme; realisme; rasional humanisme; scholastic realisme; fasisme; komunisme; dan demokrasi. Pengklasifikasian yang dilakukan oleh Brubracher sangat teliti, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya overlapping dari masing-masing aliran. Dalam makalah ini mencoba membahas aliran filsafat idealisme yang merupakan salah satu aliran filsafat pendidikan. Makalah ini mencoba menyikapi bagaimana peranan filsafat idealisme dalam pendidikan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah, antara lain: A. Bagaimana tinjauan umum tentang filsafat pendidikan? B. Bagaimana peran aliran filsafat idealisme dalam pendidikan? 1.3.Tujuan A. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang filsafat pendidikan. B. Untuk mengetahui peran filsafat idealisme dalam pendidikan. BAB II PEMBAHASAN 2.1. Tinjauan Umum tentang Filsafat Pendidikan Rusuanto (2005) mengemukakan, bahwa tidak banyak gunanya mendefinisikan filafat, karena pertanyaan “Apakah filsafat?” sudah merupakan pertanyaan filosofis. Karena itu, daripada mendifinisikan filsafat, lebih produktif menanyakan apa yang dicari filsafat. Begitu pula Keraf (2001: 13-14) menunjukkan bahwa pertanyaaan yang pertama kali muncul pada saat seseorang mempelajari filsafat adalah, “Apa itu filsafat?”. Pengajuan pertanyaan ini menandakan seseorang sedang berfilsafat. Gagasan yang sama dikemukakan oleh Ewing (2003) bahwa definisi yang tepat untuk istilah filsafat tidak bisa diberikan, dan usaha untuk melakukannya, setidaknya pada permulaan akan menyesatkan. Karena itu, Hatta dan Langeveld (dalam Bakhtiar, 2007: 7) menyatakan bahwa definisi filsafat tidak perlu diberikan, karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam definisinya. Biarkan filsafat diteliti terlebih dahulu kemudian baru disimpulkan. Dilihat dari segi etimologi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yakni kata majemuk philosopia atau philosopos. Kata ini terdiri dari dua kata, yakni philos (philein) dan sophia. Philos berarti cinta (love), sedangkan sophia atau sophos, berarti pengetahuan, kebenaran, hikmat atau kebijaksanaan (wisdom). Jadi, secara etimologi filsafat berarti cinta akan pengetahuan, kebenaran atau kebijaksanaan (love of wisdom) (Hamersma, 1981; Bakhtiar, 2007; Sirajuddin, 2004). Makna yang terkandung pada kata cinta (philos, love) adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yakni keinginan secara mendalam, atau bahkan kehausan yang luar biasa untuk mendapatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sampai ke akar-akarnya atau ke taraf yang radikal. Begitu pula menurut Suhartono (2005: 50-51), kata cinta (philos) dan kebijaksanaan (sophia) bisa bermakna secara terus-menerus menyatu dengan pengetahuan yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan guna mewujudkan kebijaksanaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Gagasan ini terkait dengan sasaran orang berfilsafat, yakni mencari pengetahuan, aneka gagasan, ide atau konsep yang mendasar. Kesemuanya berfungsi teoritis praktis bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Budianto, 2005). Kerana luasnya lapangan filsafat, orang sepakat mempelajari filsafat dengan dua cara, yaitu mempelajari sejarah perkembangannya (metode historis) dan mempelajari isi atau pembahasannya dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis). Dalam metode historis orang mempelajari sejarah perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Dalam metode sistematis orang membahas isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan sejarahnya. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan yang buruk dalam perbuatan manusia. Dalam metode sistematis ini para filsuf dikonfrontasikan tanpa mempersoalkan periodasi masing-masing. Filsafat itu sangat luas cakupan pembahasannya, yang ditujunya adalah mencari hakihat kebenaran atas segala sesuatu yang meliputi kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), serta mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika. Dengan memperhatikan sejarah serta perkembangannya, filsafat mempunyai beberapa cabang yaitu: (1) Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden dan berada di luar jangkauan pengalaman manusia; (2) Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah; (3) Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk; (4) Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek; (5) Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan; (6) Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya. Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip filsafat yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau teori nilai; (2) persoalan epistemologi atau teori pengetahuan; dan (3) persoalan metafisika atau teoni hakikat realitas. Untuk menentukan tujuan pendidikan, memotivasi belajar, mengukur hasil, pendidikan akan berhubungan dengan tata nilai. Persoalan kuriikulum akan berkaitan dengan epistemologi. Pembahasan tentang hakikat realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan hakikat manusia khususnya, diperlukan untuk menentukan tujuan akhir pendidikan. Aspek filsafat dalam ilmu pendidikan dapat dilihat berdasarkan empat kategori sebagai berikut: (1) Ontologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan; (2) Epistemologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan; (3) Metodologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan; (4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan. Kajian terhadap fisafat pendidikan akan memadukan keempat aspek tersebut di atas sebagai landasan dalam menjawab tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut: (1) Apakah sebenarnya pendidikan itu? (2) apakah tujuan pendidikan sebenarnya? dan (3) Dengan cara apa tujuan pendidikan itu dapat dicapai?. 2.2. Aliran Filsafat Idealisme dalam Pendidikan Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip filsafat yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau teori nilai; (2) persoalan epistemologi atau teori pengetahuan; dan (3) persoalan metafisika atau teoni hakikat realitas. Untuk menentukan tujuan pendidikan, memotivasi belajar, mengukur hasil, pendidikan akan berhubungan dengan tata nilai. Persoalan kuriikulum akan berkaitan dengan epistemologi. Pembahasan tentang hakikat realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan hakikat manusia khususnya, diperlukan untuk menentukan tujuan akhir pendidikan. Idealisme adalah salah satu aliran filsafat tradisional yang paling tua. Plato adalah filsuf pertama yang mengembangkan prinsip-prinsip filsafat idealisme. Dalam perkembangannya, G.W.F. Hegel, filsuf Jermanlah yang mengembangkan pemikiran filosofis dan sejarahnya berdasarkan idealisme. Secara umum pendidikan idealisme merumuskan tujuan pendidikan sebagai pencapaian manusia yang berkepribadian mulia dan memiliki taraf kehidupan rohani yang lebih tinggi dan ideal. Rumusan ini dapat dijabarkan dalam aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Sedangkan dalam arti luas filsafat pendidikan mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001). Filsafat praktek pendidikan membahas tentang bagaimana seharusnya pendi-dikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat ilmu pendidikan adalah analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai bentuk teori pendidikan. Aspek filsafat dalam ilmu pendidikan dapat dilihat berdasarkan empat kategori sebagai berikut: (1) Ontologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan; (2) Epistemologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan; (3) Metodologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan; (4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan. A. Ontologis Bagi aliran idealisme, yang nyata atau riil adalah mental atau spiritual. Seluruh hal di luar mental dan spiritual manusia hanyalah ekspresi dari pikiran manusia. Dalam perspektif metafisis, “Ada” adalah sesuatu yang tidak berubah. Semua hal yang berubah bukanlah “Ada” yang sebenarnya. Dalam pengertian itu, maka “Ada” bagi kaum idealist adalah pikiran sebagai esensi spiritual. Pikiran manusialah yang memberikan kepadanya vitalitas dan dinamika menjalani hidup. Segala hal selain pikiran merupakan hal-hal yang dapat berubah dari waktu-ke waktu, tergantung dari ekpresi pikiran. Pikiran sendiri tidaklah berubah, ia tetap dan akan tetap ada. Realitas di dalam pikiran merupakan realitas yang absolut dan bersifat universal. Kaum idealis selalu menggunakan istilah makrokosmos dan mikrokosmos untuk menjelaskan pandangan mereka tentang realitas. Makrokosmos merujuk pada pikiran universal, penyebab utama, pencipta, atau Tuhan sendiri. Walaupun berbeda-beda dalam penggunaan kata, istilah pikiran tentang makrokosmos hendak menunjukkan tentang keseluruhan eksistensi. Mikrokosmos sendiri adalah bagian yang terbatas dari keseluruhan yang disebut makrokosmos di atas. Mikrokosmis sangat individual dan merupakan bagian yang kecil. Tetapi substansi dari mikrokosmos secara spritual adalah sama dengan substansi makrokosmik. Dalam istilah pendidikan, murid-murid dapat disebut sebagai entitas spiritual yang merupakan bagian dari entitas spiritual yang lebih besar, yaitu alam semesta. Walaupun ada beberapa perbedaan di antara kaum idealis, tetapi umumnya, mereka semua menerima bahwa alam semesta dibangun atas realitas spiritual yang sangat personal dan individual B. Epistermologis Setelah mengetahui hakekat realitas menurut kaum idealis di atas, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara mengetahui realitas itu? Pengetahuan menurut kaum idealis didasarkan pada penerimaan terhadap ide-ide yang telah ada di dalam pikiran manusia sejak awal. Ide-ide itu adalah sesuatu yang a priori, dalam arti ‘tanpa pengalaman’. Jadi, tanpa tergantung pada pengalaman pun, sesungguhnya manusia telah memiliki pengetahuan awal berupa ide-ide bawaan. Lewat introspeksi, manusia dapat melakukan pengujian-pengujian terhadap pikirannya dan menemukan semacam copy dari pikiran makrokosmik. Dalam pendekatan ini, tugas guru adalah untuk membawa pengetahuan tersembunyi yang telah ada itu kepada kesadaran. Artinya, pengetahuan yang tersembunyi itu perlu diangkat ke tingkat yang dapat disadari oleh para murid. Lewat belajar, murid murid secara perlahan-lahan tiba pada pengertian yang lebih luas dari kesadaran mental. Sebagai suatu proses intelektual yang utama, belajar berarti memanggil kembali ide-ide bawaan dan bekerja dengan ide-ide bawaan itu. Oleh karena realitas adalah sesuatu yang ada di dalam pikiran, dalam hal ini merupakan aktifitas mental, maka pendidikan sangat berhubungan dengan hal-hal yang konseptual. Para murid mencoba menemukan perspektif yang lebih umum dari ide-ide bawaannya dalam lingkungan semestanya. Para pendidik yang idealis lebih menyukai bentuk-bentuk kurikulum subject-matter, yang menghubungkan ide-ide dengan konsep dan sebaliknya, konsep dengan ide-ide. Sistem-sistem konseptual adalah sintesis dari ide-ide. Sistem-sistem konseptual itu adalah bahasa, matematika dan estetika merepresiasikan bermacam-macam dimensi dari yang absolut. Kurikulum pendidikan idealis menganggap bahwa budaya manusia adalah hirarkis. Pada puncak hirarki itu terdapat disiplin umum seperti filsafat dan teologi. Baik filsafat maupun teologi adalah disiplin-disiplin yang abstrak, melebihi batasan waktu, ruang dan keadaan, membicarakan hal-hal dalam situasi yang lebih luas. Matematika adalah disiplin yang khusus karena melatih kekuatan untuk berhubungan dengan abstraksi-abstraksi. Sejarah dan literatur juga mendapat tempat yang tinggi sejak menjadi sumber moral dan contoh model budaya serta pahlawan. Sesuatu yang rendah dalam hirarki serta rendah dalam prioritas itu adalah ilmu-ilmu alam dan fisika yang berurusan dengan hubungan-hubungan sebab akibat secara partikular. Bahasa menjadi disiplin yang mendasar karena kepentingan dalam berkomunikasi C. Aksiologis Sistem nilai dalam pandangan idealisme adalah sesuatu yang absolut, abadi dan universal. Nilai-nilai merefleksikan kebaikan semesta. Dalam idealisme, aksiologi berakar pada ontologis, karena sebenarnya idealisme lebih menekankan pada aspek ontologis atau metafisika, daripada aspek-aspek yang lain. Oleh karena secara ontologis realitas itu adalah ide-ide, maka kriteria nilai-nilai baik secara etis maupun estetis terletak bukan pada diri manusia, melainkan pada keadaan di luar manusia. Keadaaan di luar manusia itu adalah prinsip-prinsip yang kekal, dan pasti secara idealis. Secara religius itu berarti prinsip tentang pribadi yang sempurna yaitu Tuhan. Secara objektif itu berarti pikiran-pikiran yang unggul, konsep-konsep yang teruji dan tahan lama, dan telah terbukti memberi faedah bagi umat manusia. Dalam tataran praktis, ini berarti orang-orang yang berotoritas, dan unggul dalam pemikiran akan menjadi standard kebenaran suatu nilai. Jadi dalam tataran teologis, wahyu ilahi sebagai standard kebenaran, secara praktis gereja, pemimpin, atau guru yang mengajarkan. Secara umum orang-orang yang unggul dalam ide-ide atau memiliki keunggulan rasiolah yang menjadi standar atau patokan bagi sebuah kebenaran. Dalam praktik pendidikan menurut aliran idealisme, maka titikberatnya adalah pada tataran ontologis. Peserta didik perlu ditanamkan konsep bahwa mereka mahkluk spiritual dan rasional. sehingga pendidikan ini akan lebih menekankan konsep, gagasan, dan bagian-bagian keakademisan, dari pada hal-hal lain. Keberhasilan pendidikan ditinjau dari penguasaan materi secara akademis. Sedangkan dari sudut pandang religius, pendidikan bertujuan membimbing peserta didik agar berkepribadian, bermoral, dan religius. Kualitas peserta didik dilihat dari kemampuan untuk merumuskan konsep-konsep atau gagasan-gagasan dari pada hal-hal yang praktis. Walaupun demikian, aspek epistemologis di mana metodologi pembelajaran dikembangkan juga mendapat perhatian penuh. Hal itu disebabkan karena status ontologis tertentu menentukan sikap epistemologis manusia. Sikap epistemologis itulah yang menjadi sarana bagi pencapaian kebenaran pengetahuan. Aspek epistemologis pendidikan idealisme mengacu pada epistemologis idealisme secara umum. Epistemologis idealisme secara umum memandang relaitas itu bukan didapat dari pengalaman inderawi melainkan dari perenungan-perenungan falsafahi. Kebenaran makna bukan didapat dari pengalaman empiris melainkan dari rasio, dan intuisi. Oleh karena itu, orang yang unggul secara rasional dianggap memiliki kebenaran-kebenaran yang tertinggi. Guru dianggap sebagai sumber kebenaran. Jawaban siswa yang tidak sesuai dengan guru akan dianggap salah. Bahkan guru juga menentukan cara untuk menemukan kebenaran itu sendiri. Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah: (1) Metafisika-idealisme; Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih dapat berperan; (2) Humanologi-idealisme; Jiwa dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih; (3) Epistemologi-idealisme; Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat; (4) Aksiologi-idealisme; Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika. Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang besar tehadap perkembangan filsafat pendidikan. Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuian batin antara anak dan alam semesta. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan pribadi manusia yang ideal. Pendidik yang idealisme mewujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Pendidik harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Oleh karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya. Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya. A. Realitas Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM). Ia adalah murid Socrates. Aliran idealisme adalah merupakan suatu aliran filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurut aliran ini, cita adalah gambaran asli yang bersifat rohani dan jiwa terletak diantara gambaran asli (cita) dengan bayanagn dunia yang ditangkap oleh pancaindra. Dari pertemuan jiwa dan cita, lahirlah suatu angan-angan, yaitu dunia idea. Idealisme mempunyai pendirian bahwa kenyataan itu terdiri dari atau tersusun dari substansi sebagaimana gagasan-gagasan (ide-ide) atau spirit. Alam fisik ini tergantung dari Jiwa Universal atau Tuhan, yang berarti pula bahwa alam adalah ekspresi dari Jiwa tersebut. Jiwa mempunnyai tempat utama dalam susunan alam semesta ini dan karenanya dunia yang sebenarnya adalah berbeda dengan apa yang Nampak oleh indera di hadapan manusia. Lain daripada itu dunia beserta bagian-bagiannya harus dipandang sebagai mempunyai hubungan satu sama lain, sehingga keseluruhannya merupakan suatu system. Dunia adalah suatu totalitas, satu kesatuan yang logis dan bersifat spiritual. Idealisme berpendapat bahwa Tuhan adalah sumber terakhir dan tertinggi Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi dan bukan fisik. Realitas akhir ini sebenarnya telah ada sejak semula pada jiwa manusia. Hakikat roh dapat berupa idea atau pikiran. Bagi penganut idealisme fungsi mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku. Oleh karena itu jasmani atau badan sebagai materi merupakan alat jiwa, alat roh, untuk melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan jiwa manusia. Hakikat manusia adalah jiwanya, rohaninya atau sering disebut dengan mind yang merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia. Dengan kata lain mind ini adalah factor utama yang menggerakkan semua aktivitas manusia. Realitas mungkin bersifat personal dan mungkin juga bersifat personal dan impersonal. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia sebagai roh yang berasal dari ide eksternal dan sempurna. Bagi Immanuel Kant manusia adalah bebas dan ditentukan. Bebas sepanjang ia sebagai spirit (jiwa), sedangkan ditentukan adalah manusia adalah mahluk fisik yang tunduk pada hukum alam. B. Pengetahuan Tentang teori pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangannya bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena dunia adalah tiruan belaka, sifatnya hanya maya (bayangan) yang menyimpang dari kenyataan sebenarnya. Pengetahuan yang benar hanya merupakan hasil belaka, karena akal dapat membedakan spiritual murni dari benda-benda diluar penjelmaan material. Menurut Plato Idealisme metafisik percaya bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang realitas karena realitas pada hakikatnya adalah spiritual sedangkan jiwa manusia merupakan bagian dari substansi spiritual tersebut. Hegel menguraikan konsep Plato tentang teori pengetahuan dengan mengatakan bahwa pengetahuan dikatakan valid, sepanjang sistematis maka pengetahuan tentang realitas adalah benar dalam arti sistematis. Dalam teori kebenaran dan pengetahuan idealisme merujuk pada rasionalisme dan teori koherensi. Teori koherensi didasari oleh pendapat bahwa item-item pengetahuan menjadi signifikan apabila dilihat dalam konteks keseluruhan. Oleh karena itu, semua ide dan teori harus divalidasi sehubungan dengan korehensinya dalam pengembangan sistem pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Henderson (1959: 215) mengatakan sebagai berikut. The rationalist argue that our sense give us but the raw material from which knowledge comes. Knowledge, say they, is not to be found in sense-perception of particulars but in consept, in participle, whichour sense cannot possibly furnish us; the main itself is active, an organizer and systematizer of our sensory experience. For the rasionalist, mathematic furnishes the correct pattern for thought. Jadi pada intinya rasionalisme mendasari teori pengetahuan idealisme. Pengetahuan tidak diperoleh dari pengalaman indera melainkan dari konsepsi dalam prinsip-prinsip sebagai hasil aktivitas jiwa. C. Nilai Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolut. Apa yang dikatakan baik, buruk, cantik, tidak cantik, benar, salah, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap tidak diciptakan oleh manusia melainkan bagian dari manusia. Plato mengatakan bahwa jika manusia tahu apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, maka mereka tidak akan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Plato mengatakan bahwa kehidupan yang baik hanya dapat terwujud dalam masyarakat yang ideal yang diperintah oleh “The Philosopher Kings” yaitu kaum intelektual, para ilmuan atau para cendikiawan (Sadulloh, 2011: 99). Oleh karena itu diperlukan banyak lembaga pendidikan untuk melahirkan pemimpin yang baik (Russel, 2007: 143). Immanual Kant sebagai tokoh idealisme sebagai tokoh idealisme modern meletakkan dasar-dasar moral atas dasar hokum yang disebut “ Categorical imperative” seperti yang ditulis oleh Kneller (1971: 33) sebagai berikut. “Kant’s ideal community consisted of men who treatedone another as end rather that means. His famous categorical imperative state that we should always act as though our individual actions were to become a universal law of nature, binding on all men in similar circumstances” Karena itu, ada hal yang mendasar pada filsafat yang dikemukan oleh Kant sebagai berikut. Filsafat Kant mau memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada Subjek dan bukan pada Objek. Sebelum Kant, filsafat lebih-lebih dipandang sebagai suatu proses berpikir di mana “Aku” (Subjek) mengarahkan diri pada “dunia” (Objek). Akan tetapi, sejak Kant arah itu diubah: Objeklah kini mengarahkan dirinya pada Subjek untuk diproses menjadi pengetahuan. Maka dari itu, filsafat Kant tidak mau mulai dari dengan penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan menyelidiki struktur-struktur Subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek (Tjahjadi, 2007: 48). Mengenai pandangan Kant Henderson (1959: 103) imperatif kategoris dan imperative praktis merupakan perlakuan dan perbuatan kemanusiaan, baik mengenai diri sendiri maupun orang lain. Pandanglah manusia sebagai tujuan bukan sebagai alat semata. D. Pendidikan Idealisme sangat memberikan perhatian terhadap keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual. Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberikan sumbangan yang besar terhadap teori perkembangan pendidikan, khususnya filsafat pendidikan. Filsafat idealisme diturunkan dari filsafat metafisik yang menekankan pertumbuhan rohani. Kaum idealis percaya bahwa anak adalah bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan potensialitasnya. Oleh karena itu pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan alam spiritual. Pendidikan harus memperhatikan kesesuaian antara anak dengan alam semesta. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Kneller (Dalam SAdulloh; 2011: 101) it must emphasize the innateharmony between man and the universe. Selanjutnya menurut Horne pendidikan merupakan proses abadi dari proses penyesuaian dan perkembangan mental maupun fisik, bebas, sadar, terhadap Tuhan dimanifestasikan dalam kehidupan intelektual, emosional dan berkemauan. Pendidikan merupakan pertumbuhan kearah tujuan, yaitu pribadi manusia yang ideal. Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual. Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna. Dalam pandangan idealisme ini memberikan tekanan pada prinsip bahwa belajar itu adalah realisasi diri sendiri. Menurut para pakar idealisme ini pengetahuan yang terbaik adalah pengetahuan yang dikeluarkan dari dalam diri siswa, bukan dimasukkan atau dijejalkan kedalam diri siswa. Sehubungan dengan ini intelek atau akal memegang peranan penting dan menentukan dalam proses belajar mengajar. Jadi pengetahuan yang diberikan disekolah harus bersifat intelektual. Sedangkan yang berkaitan dengan nilai para siswa hendaknya diberikan nilai-nilai yang tetap, abadi dan bagaimana melaksanakannya yang bersesuaian dengan pencipta nilai. Nilai itu signifikan selama berkaitan dengan tat nilai spiritual yang sempurna dari alam semesta. Dalam hal pendidikan guru seharusnya memandang anak sebagai tujuan bukan sebagai alat. Tujuan pendidikan akan berada di luar kehidupan manusia itu sendiri, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan menikmati kehidupan abadi yang berasal dari Tuhan. Power (Dalam Sadulloh, 2011: 102-103) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme adalah sebagai berikut. 1. Tujuan pendidikan Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya. Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan 2. Kedudukan siswa Bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya atau bakatnya. 3. Peranan Guru dan Siswa Para filsuf idealisme mempunyai harapan yang tinggi dari para guru. Keunggulan harus ada pada guru, baik secara moral maupun intelektual. Tidak ada satu unsur pun yang lebih penting di dalam sistem sekolah selain guru. Guru hendaknya “bekerjasama dengan alam dalam proses menggabungkan manusia, bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi para siswa. Sedangkan siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya”. (Edward J.Power,1982). Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: a) Guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; b) Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; c) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; d) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; e) Guru menjadi teman dari para muridnya; f) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; g) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; h) Guru harus rajin beribadah, sehingga menjadi insan yang bisa menjadi teladan para siswanya; i) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; j) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; k) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; l) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; m) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya. 4. Kurikulum pendidikan idealisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional/praktis. Pendidikan liberal dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan-kemampuan rasional dan moral. Pendidikan vokasional dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan. Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual. Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Semua yang ideal baik, yang berisi manifestasi dari intelek, emosi dan kemauan, ini semua perlu menjadi sumber kurikulum. Bogosluosky menjelaskan kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian: a) Universum. Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala mnanifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata surya dan lain-lainnya. b) Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, serta hidup aman dan sejahtera. c) Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan. d) Kepribadian. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agara factor-faktor fisik, fisiologis, emosional dan intelektual sebagai keseluruhan dapat berkembang harmonis dan organis. 5. Metode. Tidak cukup mengajar siswa tentang bagaimana berfikir, sangat penting bahwa apa yang siswa pikirkan menjadi kenyataan dalam perbuatan. Metode mangajar hendaknya mendorong siswa untuk memperluas cakrawala, mendorong berfikir reflektif, mendorong pilihan-pilihan morak pribadi, memberikan keterampilan-keterampilan berfikir logis, memberikan kesempatan menggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan sosia, miningkatkan minat terhadap isi mata pelajaran, dan mendorong siswa untuk menerima nilai-nilai peradaban manusia (Callahan and Clark,1983) BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya diperoleh temuan sebagai sebagai berikut: Pertama, aliran filsafat idealisme dalam pendidikan menekankan pada upaya pengembangan bakat dan kemampuan peserta didik sebagai aktualisasi potensi yang dimilikinya. Untuk mencapainya diperlukan pendidikan yang berorientasi pada penggalian potensi dengan memadukan kurikulum pendidikan umum dan pendidikan praktis. Kegiatan belajar terpusat pada peserta didik yang dikondisikan oleh tenaga pendidik. Dari aspek-aspek ini, dapat disimpulkan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang mendatangkan kestabilan, telah teruji waktu, tahan lama dan terseleksi. Nilai-nilai yang diterima adalah yang telah terbukti mendatangkan kebaikan pada umat manusia. Pendidikan ini akan mengutamakan kemampuan akademis yang telah baku. Kebenaran didapat manusia melalui intuisi, rasio dan wahyu, bukan dari penginderaan, sebab penginderaan hanyalah persepsi bukan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya terdapat dalam ide-ide atau gagasan. Daftar Pustaka Bakhtiar, A. 2007. Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Barnadid, Iman.1976. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kampus Karangmalang. Budianto, I.M. 2005. Realitas dan Objektivitas Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Widatama Widya Sastra. Ewing, A.C. 2003. Persoalan-persoalan Filsafat. (Uzair Fauzan dan Rika Iffati Farikha Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hamersma, H. 1981. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Jogyakarta: Kanisius. Henderson, Stella van Petten, 1959. Introduction to Philosophy of Education. Chicago: The University of Chicago Press. Keraf, A.S. dan M. Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius. Russell, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rusuanto, B. 2005. Keadilan Sosial Pandangan Deontologis Rawls dan Habermans dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sadulloh, Uyoh. 2011. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Suhartono, S. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.

0 comments:

Post a Comment