Pages

Monday, October 8, 2012

Wakaf Tunai dan Pengentasan Kemiskinan ?

Kemiskinan, hingga hari ini, tetap menjadi problematika mendasar yang harus dihadapi bangsa ‎Indonesia. Berdasarkan data Tim Indonesia Bangkit, angka kemiskinan mengalami peningkatan ‎dari 16 persen pada Februari 2005 menjadi 18,7 persen per Juli 2005 hingga 22 persen per ‎Maret 2006. Fakta ini menunjukkan bahwa tampaknya bangsa belum sepenuhnya 'merdeka' dari ‎kemiskinan. Pemerintah sendiri, sebagaimana diungkap Boediono, menganggarkan Rp 46 triliun ‎pada 2007 untuk menciptakan lapangan kerja. Tentu saja kita berharap bahwa rencana tersebut ‎dapat direalisasikan di lapangan, sehingga dampaknya dapat benar-benar dirasakan masyarakat. ‎ Solusi syariah Pemerintah saat ini masih terlihat gamang dengan upaya mengentaskan kemiskinan. Berbagai ‎langkah yang ditempuh bersifat tambal sulam. Di satu sisi, pemerintah belum bisa melepaskan ‎diri dari utang luar negeri berbasis bunga, sehingga utang menjadi salah satu sumber utama ‎pembiayaan APBN. Namun di sisi lain, utang luar negeri yang belum terserap jumlahnya juga ‎tidak sedikit. Berdasarkan data Bappenas, hingga Juli 2006, utang luar negeri yang belum ‎terserap mencapai 8-9 miliar dolar AS. ‎ Apapun alasannya, ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Kondisi itu terjadi ‎sebagai akibat paradigma utang konvensional yang tidak berpihak pada sektor riil. Untuk itu, ‎paradigma tersebut harus diubah secara total jika kita ingin melepaskan diri dari jebakan ‎perangkap utang dan tekanan kreditor. Mengembangkan ekonomi syariah menjadi pilihan yang ‎terbaik.‎ Sesungguhnya, telah banyak solusi yang ditawarkan para praktisi dan akademisi ekonomi ‎syariah. Solusi tersebut antara lain melalui penerbitan sukuk. Meskipun sukuk sendiri pada ‎hakikatnya mirip dengan utang, namun ia memiliki bentuk yang berbeda dengan utang ‎konvensional. Sukuk haruslah berbasis aset dan proyek di sektor riil, sedangkan utang ‎konvensional tidak mewajibkannya. Bahkan sebaliknya, undang-undang melarang pemerintah ‎menerbitkan SUN yang berbasis aset. Sehingga, sukuk dapat memberikan lebih banyak manfaat ‎dalam menciptakan lapangan kerja karena dana yang terserap akan benar-benar digunakan ‎pada sektor riil dan tidak bisa digunakan untuk spekulasi di pasar uang.‎ Solusi lain harus mulai kita kampanyekan secara lebih intensif adalah menggali sumber dana ‎pembangunan melalui wakaf tunai. Inilah sebenarnya 'raksasa' yang jika bangkit, perekonomian ‎nasional bakal segera menggeliat dan memerdekakan dirinya dari belenggu kapitalisme global.‎ Wakaf tunai Sesungguhnya jika ditelaah, wakaf tunai pada hakikatnya bukan merupakan instrumen baru. ‎Praktik wakaf tunai telah dikenal lama dalam sejarah Islam. Sebagaimana dikutip KH Didin ‎Hafidhuddin, Imam Az Zuhri (wafat tahun 124 H) memberikan fatwa yang membolehkan wakaf ‎diberikan dalam bentuk uang, yang saat itu berupa dinar dan dirham, untuk pembangunan ‎sarana dakwah, sosial dan pembangunan umat. Kemudian, istilah wakaf tunai tersebut kembali ‎dipopulerkan oleh MA Mannan, seorang pakar ekonomi syariah asal Bangladesh, melalui ‎pendirian Social Investment Bank (SIB), bank yang berfungsi mengelola dana wakaf. ‎ Sebenarnya, wakaf tunai itu pada dasarnya bertujuan menghimpun dana abadi yang bersumber ‎dari umat, yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan dakwah dan ‎masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya mengenal wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan. ‎Sedangkan wakaf dalam bentuk uang belum tersosialisasi dengan baik. ‎ Padahal, wakaf tunai ini memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bersadaqah jariyah ‎dan mendapat pahala yang tidak terputus tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah atau ‎saudagar kaya. Orang bisa berwakaf hanya dengan membeli selembar sertifikat wakaf tunai yang ‎diterbitkan oleh institusi pengelola wakaf (nadzir). Hal tersebut berbeda dengan zakat, di mana ‎untuk menjadi muzakki, seseorang harus memenuhi sejumlah persyaratan yang di antaranya ‎adalah hartanya harus melebihi nishab.‎ Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke ‎dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, sehingga keuntungannya dapat ‎dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Bisa dibayangkan, jika ‎‎20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, ‎maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang ‎berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu ‎potensi yang luar biasa.‎ Fakta pun telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan ‎memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Sebagai contoh ‎adalah Universitas Al Azhar Mesir, PP Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi ‎pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya.‎ Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta ‎poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 ‎poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan ‎profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di ‎Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih ‎dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf. ‎ Melihat potensinya yang luar biasa, pemerintah hendaknya mulai memikirkan secara serius ‎upaya untuk menggali potensi wakaf tunai ini. Kita beruntung bahwa Indonesia telah memiliki UU ‎No 41/2004 tentang Wakaf. Namun demikian, hal tersebut belumlah cukup, apalagi Badan Wakaf ‎Indonesia (BWI) sebagai amanat UU tersebut belum juga terbentuk. ‎ Ada tiga langkah yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, hendaknya kampanye dan ‎sosialisasi wakaf tunai lebih ditingkatkan. Kedua, segera membentuk dan memperkuat struktur ‎BWI sebagai lembaga nadzir negara. Ketiga, mendorong bank syariah dan lembaga keuangan ‎syariah lainnya untuk mengintensifkan gerakan wakaf tunai sebagai gerakan pengentasan ‎kemiskinan nasional.‎

1 comments:

Post a Comment